KAROMAH MEMBELAH DIRI
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Berguru Dalam Mimpi
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di
daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal
desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya.Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang
harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah
malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
SANTRI MIMPI DENGAN WANITA
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar
dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaanBahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidurdengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar.....Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua santri merasa terkejut,
tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang
meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di
daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal
desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya.Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang
harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah
malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
SANTRI MIMPI DENGAN WANITA
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar
dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaanBahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidurdengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar.....Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua santri merasa terkejut,
tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang
meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang
duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola
sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib
Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu
bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki
yaumiddin itu.
Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan
pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks
pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.
Tertawa
Keras di dalam Sholat
Pada suatu
hari, didalam sholat jemaah yang dipimpin oleh kyai disebuah pesantren tempat
kyai Kholil mencari ilmu, Kyai Kholil muda tertawa cukup keras sehingga
teman-temannya takut kalau-kalau kyai akan marah karna sikapnya itu.
Dugaan
mereka tidak keliru,setelah selesai sholat sang kyai menegur Kyai Kholil muda
dengan sikapnya yang tertawa cukup keras waktu solat tersebut yang memang
dilarang dalam Islam. Ternyata, Kyai Kholil muda masih terus tertawa meskipun
kyai sangat marah terhadapnya.
Akhirnya
Kyai Kholil menjawab bahwa ketika sholat berjamaah berlangsung dia melihat
sebuah berkat (wadah nasi waktu kenduri) diatas kepala sang Kyai.
Mendengar jawaban tersebut, sang kyai menjadi sadar dan merasa malu atas sholat
yang ia pimpin tersebut. Karena sang kyai ingat bahwa selama sholat
berlangsung, dia memang merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri sehingga
mengakibatkan solatnya tidak khusyuk.
Debat kepiting dan Rajungan
Pada suatu hari, para
ulama Mekah berkumpul di Masjidil Haram untuk berdiskusi membahas masalah dan
hukum Islam yang sedang terjadi di Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa
hambatan dan selalu mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut.
Akan tetapi pada masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan
terjadi banyak pendapat dan tidak menemukan solusi.
Kyai Kholil pada waktu
itu berada diantara peserta diskusi sambil mendengarkan dengan tekun sambil
sekali-sekali tersenyum melihat silang pendapat para peserta diskusi. Melihat
jalan buntu permasalahan yang ada dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk
menawarkan solusi untuk masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan
untuk naik ke atas mimbar oleh pimpinan diskusi.
Setelah tiba diatas
mimbar, Kyai Kholil berkata, “ Saudara sekalian, ketidaksepakatan kita dalam
menentukan hukum kepiting dan rajungan ini menurut saya disebabkan karena
saudara sekalian belum melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar
kyai Kholil. Semua ulama yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan
kyai Kholil tersebut.
“ saudara sekalian,
adapun wujud kepiting seperti ini” ucap kyai Kholil sambil memegang kepiting
yang masih basah. “sedangkan yang rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil
sambil memegang rajungan yang masih basah, seakan baru mengambil dari laut.
Semua hadirin merasa terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut.
Mereka hanya bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil mendapatkankepiting
dan rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah kejadian tersebut, masalah halal
atau haramnya kepiting dan rajungan telah menemukan solusinya. Sejak kejadian
itu, Kyai Kholil menjadi ulama yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.
Ke Makkah Naik Kerocok
(sejenis daun aren yg dapat mengapung di air)
Pada suatu sore di
pinggir pantai daerah Bangkalan, Kyai Kholol hanya ditemani oleh Kyai Syamsul
Arifin, salah seorang murid dan sahabatnya. Mereka membicarakan perihal urusan pesantren
dan persoalan umat, tak terasa waktu sudah berlangsung lama dan matahari hampir
terbenam.
“ kita belum solat
Ashar kyai” kata Kyai Syamsul Arifin.
“ Astaghfirullah
” kata kyai Kholil menyadari Kekhilafannya. “ waktu ashar hampir habis, kita
tidak mungkin sholat secara sempurna Kyai” ucap Kyai syamsul Arifin.
“ kalau begitu, ambil kerocok
untuk kita pakai ke Makkah ” kata Kyai Kholil. Setelah mendapatkan kerocok,
mereka menumpanginya di atas kerocok tersebut. Beberapa saat ketika Kyai
Kholil menatap ke Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya melesat
dengan cepat ke arah Makkah. Sesampainya ke Makkah, Azan solat ashar baru saja
dikumandangkan dan mereka mendapatkan Shaf pertama sholat Ashar berjamaah di
Masjidil Haram.
d. Mengubah Arah Kiblat Masjid
Pada suatu
hari, Kyai Kholil sedang melihat masjid yang sedang dibangun oleh menantu
beliau yaitu Kyai Muntaha. Ketika melihat arah kiblat pada masjid tersebut,
Kyai Kholil menegur sang menantu yang alim itu untuk membetulkan arah kiblat
masjid yang sedang dibangunnya itu. Sebagai orang yg alim, Kyai Muntaha
mempunyai alasan dalam menentukan arah kiblat tersebut, beberapa argumen
ditunjukan kepada Kyai Kholil dalam penentuan arah kiblat tersebut.
Melihat menantunya tidak ada tanda-tanda untuk mendengar nasihatnya, Kyai
Kholil tersenyum sambil berjalan kearah tempat pengimaman di ikuti sang
menantu. Kyai Kholil mengambil sebuah kayu untuk melubangi dinding tembok arah
kiblat dan menyuruh Kyai Muntaha untuk melihat lubang pada dinding masjid di
tempat pengimaman. Betapa kagetnya Kyai Muntaha setelah melihat lubang itu,
sang menantu melihat dalam lubang kecil itu terlihat Ka’bah yang berada di
Makkah dengan sangat jelas. Dengan penglihatan itu, Kyai Muntaha heran dan
sadar bahwa arah kiblat yang menjadi kiblat bangunan masjidnya salah. Arah
kiblat bangunan masjid terlalu miring dan terbukti benar apa yang di
koreksi Kyai Kholil.